Hal itu terungkap dalam laporan investigasi Associated Press. AP memperoleh daftar ratusan perempuan itu dari tim penyelidik Pakistan yang berupaya membongkar jaringan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang mengeksploitasi ratusan perempuan itu.
Tim penyelidik memulai investigasi sejak 2018. Beberapa pernikahan disebut terjadi pada 2018 hingga April 2019.
Pejabat Pakistan yang tak ingin diungkap identitasnya yakin ratusan perempuan itu dijual oleh keluarga mereka sendiri atas alasan kebutuhan finansial.
Para orang tua itu menjual anak perempuan mereka pada agen-agen di Pakistan yang bekerja sama dengan agen di China. Para agen itu disebut mengantongi uang hingga US$25-65 ribu dari satu pengantin yang dijual kepada pria China.
Namun, hanya US$1.500 saja yang diterima keluarga korban sebagai imbalan.
Pihak berwenang Pakistan menghentikan penyelidikan terhadap kasus tersebut pada Juni tahun ini.
Sejumlah pejabat Pakistan yang mengetahui tentang investigasi itu mengatakan penyelidikan dihentikan dengan alasan takut merusak hubungan bilateral dengan China.
Pada Oktober lalu, pengadilan kota Faisalabad bahkan membebaskan 31 warga China yang didakwa atas kasus TPPO ini. Beberapa wanita korban TPPO tersebut bahkan menolak untuk memberikan kesaksian lagi kepada polisi.
[Gambas:Video CNN]
Seorang pejabat pengadilan menuturkan bahwa perempuan-perempuan itu mendapat ancaman atau disuap agar diam.
Pemerintah pusat Pakistan juga disebut berupaya menghalangi penyelidikan dengan memberi tekanan besar kepada pejabat Badan Investigasi Federal (FIA).
"Beberapa pejabat FIA bahkan dipindahkan. Ketika kami mencoba berbicara dengan pemerintah Pakistan, mereka tidak memperhatikan," kata Saleem Iqbal, seorang aktivis dari komunitas Kristen yang kerap membantu orang tua menyelamatkan anak perempuan mereka yang dijual ke China.
Menanggapi laporan itu, China melalui Kementerian Luar Negeri mengaku tidak tahu menahu terkait daftar ratusan perempuan yang menjadi korban TPPO itu.
"Kedua pemerintah, China dan Pakistan, mendukung pembentukan keluarga bahagia antara kedua masyarakat secara sukarela berdasarkan hukum. Di saat bersamaan, China juga tidak memberikan toleransi terhadap pihak-pihak yang terlibat pernikahan ilegal lintas-batas negara," bunyi pernyataan Kemlu China.
Kasus serupa juga terjadi pada perempuan Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri RI, hingga Oktober 2019 ada 42 kasus pengantin pesanan terjadi. Sebanyak 36 korban di antaranya berhasil dipulangkan ke Indonesia.
Puluhan perempuan Indonesia itu dijodohkan dengan pria Tiongkok dengan iming-iming kesejahteraan yang terjamin.
Agen menjanjikan sejumlah uang kepada keluarga sang perempuan sebagai imbalan. Namun, dalam beberapa kasus, uang yang diberikan agen tidak sesuai dengan perjanjian awal dengan alasan dipotong untuk biaya administrasi dan logistik lainnya.
Selepas dipersunting dan dibawa ke China, para perempuan itu juga malah dipekerjakan sebagai buruh dan kerap disiksa.
Pemerintah Indonesia kesulitan untuk membantu atau memulangkan puluhan WNI itu lantaran mereka menikah dengan dokumen dan persyaratan yang sah di mata hukum China. Alhasil proses repatriasi memerlukan izin para suami. (rds/dea)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2DQ0DXr
via IFTTT
No comments:
Post a Comment