"Saya tidak melihat ungkapan suara adzan terlalu keras sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu," kata Robikin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Sebagai muslim, lanjut Robikin, pendapat seperti itu sewajarnya ditempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural.
Menurut dia lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut.
Baca juga: PBNU : Pemerintah Harus Serius Lindungi Warga Negara
"Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," kata Robikin yang juga advokat konstitusi.
Seorang perempuan bernama Meliana asal Tanjung Balai disidang di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara karena mengeluhkan suara adzan yang dianggapnya terlalu keras.
Meliana dinilai jaksa penuntut umum melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan 156a KUHP dan dituntut hukuman 1,5 tahun penjara.
Pernyataan Meliana dianggap sebagai pemicu kerusuhan di mana sekelompok orang membakar dan merusak wihara dan Klenteng di Tanjung Balai.
Baca juga: PBNU: UU Penistaan Agama Harus Dipertahankan
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Edy Sujatmiko
COPYRIGHT © ANTARA 2018
No comments:
Post a Comment