"Kami menerima laporan yang sama dalam beberapa pekan ini," kata seorang sumber di pemerintahan AS, seperti dilansir CNN, Kamis (5/12).
Kepala Komando Militer AS di Timur Tengah, Jenderal Kenneth McKenzie, menyatakan dalam sebuah pertemuan di Bahrain tidak menyangkal tanda-tanda Iran bakal menyerang.
"Saya melihat perkembangan selama tiga sampai empat bulan ini, ada kemungkinan mereka (Iran) akan mengambil tindakan. Hal itu tidak berguna bagi mereka jika memutuskan melakukan aksi militer," kata McKenzie.
Beberapa waktu lalu, surat kabar The New York Times melaporkan milisi Syiah semakin gencar menyerang basis-basis pasukan AS di Irak. Bahkan, kelompok bersenjata itu dilaporkan menembakkan sejumlah roket dengan kaliber yang berukuran lebih besar dari biasanya.
Hal ini adalah buntut dari perseteruan Iran dan AS terkait perjanjian pembatasan program nuklir (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA) yang diteken pada 2015.
JCPOA diteken oleh Iran dan Amerika Serikat ditambah dengan China, Inggris, Prancis, Rusia dan Jerman. Isinya adalah mewajibkan Iran membatasi pengayaan uranium supaya tidak bisa digunakan untuk membuat hulu ledak nuklir.
Iran mulanya sepakat untuk mematuhi aturan itu. Akan tetapi, pada Mei lalu Presiden AS, Donald Trump, memutuskan mundur dari kesepakatan tersebut dengan alasan Iran terlibat dalam sejumlah konflik di dunia serta melanjutkan program rudal.
AS kembali menjatuhkan serangkaian sanksi ekonomi terhadap negara dan individu Iran.
Iran lantas memutuskan mulai tidak mematuhi perjanjian tersebut karena sikap AS. Mereka juga memutuskan melanjutkan pengayaan uranium melebihi batas yang ditetapkan.
Pemerintah Irak dikuasai oleh kelompok Syiah yang didukung Iran. Padahal, kedua negara itu berperang pada 1980-an.
Sampai saat ini pertentangan antara warga Iran dan Irak juga masih membara. Hal itu terbukti ketika para demonstran Irak membakar gedung konsulat Iran di Kota Najaf, salah satu kota suci pemeluk Syiah. (ayp/ayp)
from CNN Indonesia https://ift.tt/367FSCm
via IFTTT
No comments:
Post a Comment