Surat kabar South China Morning Post melaporkan, Senin (2/12), Veby mendesak kepolisian agar membuka identitas anggota polisi yang menembaknya, sehingga ia bisa menggugat polisi tersebut secara pribadi. Ia menambahkan hal itu dilakukan tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang lain yang mengalami hal yang sama dengannya.
"Keyakinan saya mengatakan saya harus memaafkan. Saya mengejar keadilan dalam kasus ini tidak hanya untuk saya sendiri, tetapi juga bagi semua orang yang terluka di Hong Kong yang tidak bisa melakukan hal yang sama," katanya.
Tindakan hukum tersebut diambil setelah Veby dan kuasa hukum yang mewakilkannya, Michael Vidler, menemui jalan buntu untuk mendesak kepolisian agar membuka identitas polisi. Kepolisian sampai saat ini menolak permintaan itu.
Seorang juru bicara kepolisian sempat mengungkapkan pihak Kantor Pengaduan Terhadap Kepolisian telah membuka penyelidikan menyeluruh meski Veby tidak dapat memberikan bantuan pada saat itu.
Jumat pekan lalu, pengawas senior bagian hubungan masyarakat kepolisian Hong Kong, Kong Wing-cheung, membantah bahwa polisi pelaku penembakan sengaja dilindungi dan menyebutkan ada beberapa hal yang harus diselesaikan karena kasus tersebut menyangkut masalah privasi. Vidler mengatakan pihaknya tidak mendapatkan penjelasan tersebut dari kepolisian.
Veby pun menyatakan sampai saat ini polisi juga tidak memeriksa satu pun saksi kunci mana pun yang berada di lokasi kejadian. Dia juga telah membuat pernyataan tertulis secara sukarela.
Ia juga melakukan langkah lain dengan mengajukan bantuan hukum kepada Departemen Bantuan Hukum. Kendati sudah melakukannya, permohonan itu masih belum disetujui tujuh pekan setelah didaftarkan.
Pihak departemen mengaku tidak akan merilis detail terkait kasus Veby dengan alasan kerahasiaan.
Veby merupakan wartawati yang datang ke Hong Kong pada 2012 dan sering menulis tentang hak-hak tenaga kerja Indonesia (TKI) yang datang ke kota tersebut. Dia sudah menjadi jurnalis selama 13 tahun.
Ia mengingat kembali tidak lama setelah ditembak, ia jatuh dan mendengar suara-suara yang memintanya untuk tetap bangun sambil berpikir bahwa kejadian itu akan menjadi akhir darinya.
Ketika meliput aksi demonstrasi di kawasan Wan Chai pada 29 September lalu, ia terkena peluru di dekat mata sebelah kanan. Saat itu dia sudah mengenakan tanda pengenal pers, rompi, helm, kacamata dan masker. Dia berdiri di kerumunan wartawan lainnya.
Sebelum polisi melepaskan tembakan yang mengenai bagian pelipisnya, seorang wartawan di belakang Veby meneriakkan kata "kei che" yang merupakan bahasa Kanton berarti "wartawan". Namun, polisi itu tetap menembak ke arah demonstran yang ada di depan Veby.
Akibat penembakan tersebut, ia harus menjalani beberapa kali operasi meski akhirnya matanya tidak bisa diselamatkan. Semenjak ia dikeluarkan dari rumah sakit tiga pekan lalu, Veby menuturkan bola matanya yang pecah mungkin bisa diangkat jika kondisinya semakin memburuk.
Kini Veby juga mengalami disorientasi terhadap kedalaman. Dia juga merasa bola mata kirinya mudah lelah.
Insiden yang menimpa wartawati itu membuat Aliansi Jurnalis Hong Kong (HKJA) menuntut kepala kepolisian setempat terkait dugaan pelanggaran etika yang membatasi pekerjaan wartawan. Mereka mengungkapkan polisi menargetkan jurnalis yang tengah melakukan tugasnya meliput demonstrasi dengan bertindak agresif, menghalangi wartawan saat liputan, dan menggunakan tindakan yang tidak perlu serta berlebihan.
Selain itu, insiden ini juga menyebabkan pemerintah Indonesia meminta penjelasan dari pemerintah Hong Kong. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, menuturkan otoritas Hong Kong belum menanggapi permintaan tersebut meski telah mengirimkan nota resmi.
"Itu adalah salah satu hal yang membuat saya terjaga di malam hari, sambil berpikir apakah saya masih bisa lanjut sebagai seorang wartawan," kata Veby. (fls/ayp)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2rL5S7T
via IFTTT
No comments:
Post a Comment