Salah satu anggota tim pencari fakta PBB untuk Myanmar, Christopher Sidoti mengatakan upaya pemulangan itu belum waktunya hingga Myanmar dapat menjamin keamanan etnis Rohingya ketika tiba di negara asalnya.
"Sekarang, prioritas utama, jika kita menginginkan pemulangan dalah mengubah situasi pengungsi Rohingya yang tetap ada di negara bagian Rakhine. Sampai situasi pada dasarnya berubah di mana mereka dilindungi, aman, dan menikmati partisipasi penuh di Myanmar. Sampai itu terjadi, pengungsi di Cox's Bazar tidak bisa dan tidak akan kembali," ujar Christopher Sidoti ketika ditemui di kantor PBB untuk Indonesia, Jakarta Senin (5/8).
"Permasalahannya adalah mungkin ada 400 ribu hingga 500 ribu pengungsi Rohingya yang masih ada di negara bagian Rakhine di mana kondisi mereka tidak berubah dibandingkan dengan mereka yang telah ada di sana sejak 2012," ucapnya.
Ia juga mempertanyakan mengapa para pengungsi itu harus dipulangkan jika kondisi di negara asalnya masih tetap sama, di mana mereka tinggal di kamp-kamp penampungan dan tidak mendapat akses ke sekolah, layanan kesehatan, maupun kebutuhan pokoknya.
Sidoti juga menceritakan pengalamannya ketika mewawancarai seorang etnis Rohingya di Cox'z Bazar, Bangladesh yang sempat mencoba kabur dari negara bagian Rakhine sebanyak tiga kali pada 1990an, 2012, dan 2017 bersama keluarganya.
Menurut Sidoti, orang Rohingya itu ingin kembali ke negara asalnya bersama keluarga, namun ia mengaku belum siap hingga rasa takutnya hilang.
Sementara itu, ketua tim pencari fakta PBB untuk Myanmar, Marzuki Darusman menjelaskan akan adanya pagar pembatas antara Myanmar dan Bangladesh, di mana para pengungsi Rohingya bermukim sekarang.
Marzuki juga menjabarkan pagar pembatas itu dibangun pemerintah Myanmar dari sumber daya usaha yang terpisah dari anggaran negaranya.
"Pagar itu didirikan setelah banyak dari pengungsi Rohingya yang mencoba kabur dan bertujuan untuk mencegah mereka kembali (ke Myanmar)," kata Marzuki di tempat yang sama.
"Ini adalah keterkaitan yang jelas antara kebijakan negara, kebijakan militer, dan sumber daya usaha. Upaya-upaya militer mungkin dapat terjadi karena disediakan oleh komunitas bisnis," ujar Marzuki.
Rencana pemulangan pengungsi Rohingya kembali ke negara asalnya telah disepakati Myanmar dan Bangladesh sejak 2017 lalu. Upaya tersebut juga mendapat sambutan baik dari dari berbagai negara di ASEAN, termasuk Indonesia.
Pada bulan Juni lalu, Presiden Joko Widodo sempat membahas persoalan keamanan di negara bagian Rakhine saat bertemu Pemimpin De Facto Myanmar, Aung San Suu Kyi di sela-sela KTT ke-34 ASEAN di Bangkok, Thailand.
Kala itu, Jokowi mengingatkan pentingnya situasi keamanan yang baik di negara bagian Rakhine.
Tak hanya itu, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi bersama dengan Menlu Singapura, Vivian Balakrishnan pada Juli lalu sepakat bahwa Indonesia dan Singapura akan terus membujuk Myanmar agar menjamin keamanan para pengungsi Rohingya yang ingin pulang.
Kedua negara menyatakan pentingnya kesiapan fasilitas yang diberikan Myanmar kepada para pengungsi Rohingya guna menjamin keberhasilan pemulangan mereka. (ajw/dea)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2OE3F9i
via IFTTT
No comments:
Post a Comment