"Dalam solidaritas melawan terorisme, semua bentuk protes di Hong Kong akan dihentikan pada 11 September, meski masih ada potensi untuk bernyanyi dan menyerukan slogan," demikian pernyataan bersama para demonstran yang dikutip Reuters.
Mereka kemudian menjelaskan bahwa pembatalan ini sengaja dilakukan untuk membantah tudingan pemerintah yang disebarluaskan melalui satu pemberitaan di media milik negara, China Daily.
"Para fanatik anti-pemerintah merencanakan serangan teror besar-besaran, termasuk meledakkan pipa gas, di Hong Kong pada 11 September," demikian bunyi berita tersebut.
Pernyataan itu berlanjut, "Rencana teror 9/11 itu juga mendorong serangan diskriminasi terhadap pengguna bahasa Mandarin non-pribumi dan menyulut amarah."
"Kami bahkan tidak perlu melakukan pengecekan fakta untuk mengetahui bahwa itu adalah berita bohong," ujar seorang demonstran Michael.
Melanjutkan pernyataannya, Michael berkata, "Media pemerintah tidak peduli dengan kredibilitas mereka. Ketika sesuatu yang mereka tahu dari WhatsApp atau keterangan teman dari teman mereka, mereka akan langsung mengabarkannya."
Awalnya, para demonstran menuntut pemerintah mencabut rancangan undang-undang ekstradisi yang memungkinkan tersangka satu kasus di Hong Kong diadili di wilayah lain, termasuk China.
Para demonstran tak terima karena menganggap sistem peradilan di China kerap kali bias, terutama jika berkaitan dengan Hong Kong sebagai wilayah otonom yang masih dianggap bagian dari daerah kedaulatan Beijing.
Berawal dari penolakan RUU ekstradisi, demonstrasi itu pun berkembang hingga menggaungkan tuntutan agar pemimpin eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, mundur dan melepaskan Hong Kong dari China. (has)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2LH7tC1
via IFTTT
No comments:
Post a Comment