Melalui sepucuk surat kepada kelompok penggerak massa Fron Hak Asasi Sipil (CHRF), kepolisian menyatakan bahwa larangan itu dikeluarkan atas dasar kekhawatiran para demonstran akan melakukan "tindakan kekerasan dan destruktif."
Selaku kelompok penggerak massa terbesar di Hong Kong, CHRF mengaku bakal langsung menggugat keputusan kepolisian yang bergerak di bawah perintah pemimpin eksekutif Hong Kong, Carrie Lam.
"Kalian bisa melihat pergerakan polisi semakin intensif, dan kalian bisa melihat Carrie Lam pada faktanya tak berniat membuat Hong Kong kembali damai, tapi malah mencoba menyulut amarah lebih banyak warga dengan tindakan keras," ujar pemimpin CHRF, Jimmy Sham.
Namun menjelang malam, para demonstran keluar dari area yang diizinkan aparat dan berarak ke seluruh penjuru Hong Kong.
Meski demikian, demonstrasi kembali berujung ricuh pada pekan lalu, sampai-sampai membuat aparat harus melepaskan tembakan peringatan untuk pertama kalinya sejak aksi protes memanas pada awal Juni lalu.
Awalnya, para demonstran menuntut pemerintah membatalkan pembahasan rancangan undang-undang ekstradisi yang memungkinkan tersangka satu kasus diadili di negara lain, termasuk China.
Para demonstran tak terima karena menganggap sistem peradilan di China kerap kali bias, terutama jika berkaitan dengan Hong Kong sebagai wilayah otonom yang masih dianggap bagian dari daerah kedaulatan Beijing.
Berawal dari penolakan RUU ekstradisi, demonstrasi itu pun berkembang dengan tuntutan untuk membebaskan diri dari China. (has)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2zvFJdK
via IFTTT
No comments:
Post a Comment