Ketua tim pencari fakta PBB untuk Myanmar, Marzuki Darusman, mengungkapkan tim penilai ASEAN yang ditugaskan untuk menelaah krisis Rohingya tidak menghasilkan apa-apa. Padahal tim itu dibentuk oleh ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre) yang dirilis Juni lalu.
"Dengan berat hati, kami harus sampaikan juga bahwa laporan (ASEAN) terpecah (tidak komprehensif). Kami memahami bahwa ini adalah penilaian awal oleh AHA Centre, tapi jelas banyak harapan bertumpu pada ASEAN untuk bisa melanjutkan ini lebih dalam lagi," paparnya menambahkan.
Menurut Marzuki, ASEAN sebagai kawasan terdekat seharusnya bisa lebih tegas lagi mendesak Myanmar menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya dan minoritas lainnya secara inklusif. Dia menganggap pelanggaran hak asasi manusia serupa bisa terjadi di negara Asia Tenggara lainnya jika ASEAN terus 'bungkam' terkait tragedi kemanusiaan di Myanmar.
"Kesimpulan adanya tim pencari fakta ini adalah untuk memecah kebisuan karena kami percaya genosida terjadi di Myanmar dan ini harus dibuktikan di depan hukum. Tanggung jawab 10 negara ASEAN saat ini adalah untuk mengimplementasikan prinsip penegakan HAM," kata Marzuki.
Ilustrasi etnis Rohingya yang mengungsi di perbatasan Bangladesh. (REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
|
Myanmar terus menjadi sorotan setelah angkatan bersenjata dan kelompok radikal setempat diduga melakukan persekusi, pengusiran, hingga pembunuhan massal yang menargetkan etnis Rohingya dan minoritas lainnya di Rakhine. Kekerasan itu kembali memburuk sekitar Agustus 2017 lalu.
Kekerasan dipicu oleh penyerangan sejumlah pos polisi oleh kelompok militan di Rakhine. Alih-alih menangkap para pelaku, militer Myanmar diduga mengusir, menyiksa, hingga membunuh etnis Rohingya.
Sejak itu, sedikitnya 700 ribu Rohingya lari ke perbatasan Bangladesh untuk mencari perlindungan. Meski Myanmar mengklaim telah menahan sejumlah tentara terkait hal ini, kekerasan terhadap Rohingya disebut masih terjadi hingga saat ini.
Dalam laporan terbarunya yang dirilis hari ini di Jenewa, Marzuki dan rekan-rekan menyatakan militer Myanmar masih menikmati bantuan dari sejumlah perusahaan asing dan negara di tengah tuduhan pelanggaran HAM ini. Tujuh negara Eropa dan Asia bahkan dinilai masih tetap memasok senjata bagi militer Myanmar.
"Pendapatan yang diperoleh militer dari transaksi bisnis domestik dan asing secara substansial meningkatkan kemampuannya untuk melakukan pelanggaran berat HAM dengan impunitas," kata Marzuki.
Bagi Marzuki dan timnya, laporan ini untuk pertama kalinya merinci sejauh mana militer Myanmar memanfaatkan bisnis negara, kerja sama dengan perusahaan asing, hingga kesepakatan senjata dengan negara lain untuk "mendukung operasi brutal terhadap kelompok etnis" minoritas. (ayp)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2ZzhyGH
via IFTTT
No comments:
Post a Comment